Senin, 13 Oktober 2008

INKULTURASI SOSIAL

F. Inkulturasi
Pemahaman mengenai inkulturasi seringkali tidak dapat begitu mudah dimengerti oleh awam. Inkulturasi berasal dari kata Kultur. Inkulturasi adalah tindakan untuk mengkulturasikan kembali (me-reconstruct) kebudayaan asli/pribumi atau lebih sering disebut indigenization. Gerakan ini semarak dilakukan oleh Gereja-Gerejadi Asia, Afrika dan Amerika Latin (Selatan), sejalan dengan proses pencarian identitas diri nasional maupun lokal setelah beratus tahun dibawah penjajahan “Barat”. Penjajahan yang di dalamnya Mission (Zending) mengambil kesempatan untuk memperluas misinya, umumnya “membunuh” identitas lokal, tidak hanya dengan mengclaimnya sebagai sesuatu yang “kafir” tapi juga memakai faktor ini sebagi dasar politik Devide et Imperanya (Divide and Conquer).

G. Kolektivitas dan Individualisme
Dimensi budaya yang lain adalah Individualisme Vs. Kolektivisme (IK). Sebelum kita berbicara panjang lebar tentang apa itu individuaisme alangkah baiknya kita mengetahui pengertian individualisme dan kolektivitas itu sendiri.
Individualisme adalah suatu kondisi ketika masyarakat melakukan segala sesuatu dengan mandiri, mencari sesuatu sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan mereka hanya dekat dengan keluarga dekat mereka. 
Sedangkan kolektivitas adalah suatu kerangka sosial yang kuat dan sangat kohesif (Hofstade, 2001). Adapun Schawrts (1999) memandang realitas tersebut sebagai suatu perbedaan dalam masyarakat mengenai terpisah (autonomous) dan melekat (embedded) dalam suatu kelompok. Individu dalam budaya autonomous menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah yang menemukan makna hidup melalui pengalaman unik mereka sendiri. Sedangkan embedded yang tinggi berarti bahwa individu dianggap sebagai bagian dari kolektivitas dan menemukan makna dan arahan dalam hidup melalui partisipasi dalam kelompok dan mengidentifikasinya dengan tujuan. Dalam hal ini organisasi biasanya mengambil peran penuh akan tanggung jawab untuk para anggotanya dalam seluruh aspek kehidupan, loyalitas dan identifikasi diharapkan dalam situasi tersebut. 
Menurut Martella dan Mass (2000) IK memoderasi hubungan antara pengangguran dan kepuasan hidup yang lebih rendah, penghargaan akan diri, dan kegembiraan, hubungan tersebut akan semakin kuat untuk individualis daripada untuk golongan kolektif. Lebih lanjut menurut Gibbson (1999) efficiacy kelompok dan kinerja kelompok secara positif terkait ketika kolektivitas tinggi, tapi tidak berkorelasi ketika kolektifitas rendah.
Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semua¬nya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Ti¬mur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47.
Dalam kaitannya dengan kepemimpinan menurut Den Hartog dkk, 1999) menjadi seorang yang autonomous, unik dan independen akan membantu seseorang untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, tetapi tidak disukai pada beberapa lingkup budaya. Lebih lanjut menurut Jung dan Avolio (1999) melalui manipulasi gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Mereka membandingkan efek dari gaya yang berbeda tersebut pada kondisi tugas individu dan kelompok untuk menilai apakah terdapat dampak yang berbeda antara individualis dan kolektivis dalam melakukan brainstorming. Hasilnya, kolektifis dengan pemimpin yang transformasional akan menghasilkan ide-ide yang lebih banyak, sedangkan individualis akan menghasilkan ide yang lebih banyak dengan pemimpin yang transaksional.  
Ting¬kat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempu¬nyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif ku¬rang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan ku¬rang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980). 
Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai uta¬ma dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong untuk meng¬ungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif. 




Tidak ada komentar: